Thursday, September 28, 2006

Tentang Konsekuensi (lagi)

Beberapa waktu yang lalu topik konsekuensi pernah dibahas dalam blog ini. Pagi tadi topik konsekuensi ini muncul lagi dalam sebuah perbincangan menuju kantor antara aku, Elly dan Mbak Ratih. Kali ini sudut pandangnya jauh berbeda dengan ceritaku yang lalu, sudut pandang seorang perempuan, sudut pandang seorang istri.

Perbincangan ini bermula dari keadaan dua temanku dalam melaksanakan puasa. Elly dan Mbak Ratih, keduanya sedang hamil muda. Dari perbincangan itu berlanjut tentang pengajuan pindah tugas yang ingin dilakukan oleh mbak Ratih. Memang dua ibu muda ini hidup terpisah dari suaminya. Bukan hidup terpisah negatif lho, tapi karena sang suami bertugas di kota yang lain. Elly bersuami seorang hakim yang bertugas di Tual, Maluku, sedangkan mbak Ratih suaminya bertugas di Semarang.

Kembali lagi ke masalah konsekuensi. Lobby temanku itu untuk pindah ke kota yang sama dengan suaminya kemungkinan besar tidak dikabulkan. Dalam institusi kami memang agak susah kalau mengajukan pindah tugas. Kalaupun permintaan itu dikabulkan pasti karena tempat yang dituju mempunyai lowongan jabatan dan kebutuhan tenaga kerja yang sama. Jadi pindah tugas tidak segampang memindahkan dua pegawai yang berada di wilayah yang berbeda. Contohnya dua temanku yang lain, Nuni dan Mbak Titin, Nuni(roommate ku pas samapta)bertugas di Bandung suaminya di Jakarta, sedangkan mbak Titin kebalikannya. Mereka ingin sekali bisa tuker tempat tapi tidak bisa karena memang spek nya berbeda. Nuni dengan latar belakang Akuntansi jobnya di bagian SKEM, mbak Titin latar belakangnya teknik industri jobnya di bagian Perizinan.

Ketika temanku itu melakukan lobby sempat terdengar sindiran dari seniornya. Hidup itu kan pilihan, tinggal pilih aja suami atau institusi. Yah lagi-lagi sebuah konsekuensi dari janji yang sudah kita sepakati "bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia". Walaupun aku tidak sepakat dengan apa yang dikatakan oleh senior temanku itu.

Hidup terpisah suami dan istri di dua kota yang berjarak jauh memang tidak mudah. Apalagi keadaan mereka yang sedang hamil. Apa-apa harus dilakukan sendiri, ke dokter sendiri, merasakan mual dan sakit sendiri. Kontak intens hanya bisa dilakukan via telepon. Aku jadi ingat salah satu mbakku tentang suami istri yang beda kota, dia bilang "kalau nanti aku selingkuh gimana?".Hehehe ada benarnya juga sih, kemungkinan itu bisa terjadi.

No comments: