Tuesday, December 06, 2005

RUU Guru, Secercah Harapan

Rancangan Undang-undang yang mengatur tentang profesi guru rencananya disetujui DPR tanggal 6 Desember 2005 (hari ini). RancanganUndang-undang ini memberi secercah harapan bagi insan yang sering disebut-sebut sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa". Bagaimana tidak, dalam Rancangan Undang-undang yang terdiri dari 17 Bab dan 47 pasal ini memperhatikan kesejahteraan guru, baik itu guru di sekolah negeri maupun swasta. Dalam pasal 13 disebutkan bahwa guru tetap mempunyai hak:

  • memperoleh penghasilan yang layak dalam melaksanakan tugas keprofesiannya
  • memperoleh tunjangan profesi diluar penghasilan
  • memperoleh maslahat sampingan;

Kongkretnya dalam Pasal 14 dijelaskan bahwa:

  • Penghasilan yang layak sebagaimana dimaksud pada pasal 13 ayat (2) butir a meliputi gaji, tunjangan yang melekat pada gaji, uang kelebihan jam mengajar, uang lembur, tunjangan khusus, dan/atau penghasilan lainnya yang terkait dengan tugasnya sebagai guru, yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.
  • Maslahat sampingan sebagaimana dimaksud pada pasal 13 ayat (2) butir c meliputi antara lain hak mendapat cuti, libur, asuransi kesehatan, jaminan pensiun, tunjangan kemahalan biaya hidup, asuransi jiwa, asuransi kecelakaan, dan asuransi pendidikan anak bagi guru yang meninggal atau cacat permanen karena menjalankan tugas keprofesiannya.

Pencantuman tentang kesejahteraan financial bagi guru merupakan hal yang ditunggu-tunggu oleh para pendidik di negara kita tercinta. Sudah lama mereka menantikan kesejahteraan mereka diperhatikan oleh pemerintah. Sebuah contoh yang sangat terlihat adalah kesejahteraan seorang tenaga pengajar yang honorer di sebuah Sekolah Dasar penghasilan yang mereka dapat di tempat tinggal penulis ada yang berkisar Rp 75.000 - Rp 100.000 perbulan jauh lebih rendah dari penghasilan seorang pembantu rumah tangga (sekitar Rp 200.000 - Rp 400.000).

Program guru bantu yang dilaksanakan pemerintah sedikit membantu sebagian guru. Dengan menjadi guru bantu maka mereka memperoleh penghasilan Rp 400.000 perbulan (walaupun jumlah itu setengah dari Upah Minimum Kota di Jakarta). Tidak heran jika pada peringatan Ulang Tahun PGRI dan Hari Aksara Nasional mantan Rektor Universitas Negeri Jakarta Prof Dr Winarno Surachmad membacakan sebuah sajak. Sajak itu berbicara tentang kepedihan nasib guru karena minimnya gaji dan keadaan gedung sekolah yang tidak lebih baik daripada kandang ayam.

Sebuah ganjalan dalam Undang-undang ini adalah dalam RUU itu dituntut guru minimal mempunyai tingkat pendidikan sarjana. Dalam pasal 7 Undang-undang ini dijelaskan Guru sebagai tenaga profesional di bidang pembelajaran wajib memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan. Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud diperoleh melalui pendidikan tinggi Program Sarjana atau Program Diploma IV (empat) yang sesuai dengan tugasnya sebagai guru. Kompetensi sebagai agen pembelajaran sebagaimana dimaksud pada pasal 17 ayat (1) meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial sesuai Standar Nasional Pendidikan, yang diperoleh melalui pendidikan profesi guru setelah Program Sarjana atau Program Diploma IV (empat) . Sebuah pertanyaan besar muncul apakah guru yang belum menyelesaikan sarjananya berhak mendapat kesejahteraan tambahan ini? Karena sebelum UU ini ada, mereka sudah memenuhi kualifikasi untuk menjadi guru. lagipula, bagian terbesar guru adalah guru SD dan pendidikan mereka belum mencapai tingkat sarjana. Sebuah pertanyaan lain adalah bagaimana nasib guru honorer yang telah bekerja bertahun-tahun? Yang jelas Undang-undang ini belum di-implementasikan, masih menunggu peraturan pemerintah yang menjabarkannya.

No comments: