Tuesday, November 29, 2005

Sayekti & Hanafi

Film ini mengisahkan kehidupan sepasang suami istri yang hidup pas-pasan. Sayekti adalah seorang buruh angkut sayuran di sebuah pasar tradisional. Sedangkan Hanafi, suaminya, adalah seorang tukang becak. Awalnya kehidupan mereka sama dengan kehidupan kaum miskin di sekitarnya. Sampai suatu hari Sayekti yang sedang hamil tua terjatuh, yang menyebabkan harus dilakukan operasi Caesar untuk menyelamatkan nyawanya dan bayinya.

Kebahagiaan mereka melihat anak mereka yang lucu tidak berlangsung lama. Biaya operasi dan perawatan di rumah sakit sangat membuat mereka gusar. Tercantum sejumlah sepuluh digit nominal rupiah yang harus dibayarkan. Melihat uang sejumlah itu pun mereka tidak pernah, apalagi memilikinya.

Hanafi mencoba untuk membuat keterangan tidak mampu dari kelurahan tempat tinggalnya. Tapi oleh pegawai kelurahan ditolak karena dia tidak punya KTP Jakarta. Padahal untuk membuat KTP perlu uang juga (sampai ratusan ribu rupiah untuk harga sebuah KTP di Jakarta). Akhirnya pegawai kelurahan itu bersedia membuat Surat Keterangan Tidak Mampu setelah mengetahui kisah sebenarnya. Ternyata dengan kartu itupun tidak bisa menghapus seluruh biaya yang harus dikeluarkan. Kartu itu hanya menggugurkan biaya kamar dan beberapa obat-obatan yang generic. Sedangkan biaya operasi tetap dibebankan pada mereka sebesar Rp. 615.000. Padahal uang yang mereka punya cuma seperlima dari nominal tersebut.

Kondisi fisik Hanafi yang rapuh akibat penyakit TBC yang dideritanya membuat dia tidak bisa mencari uang lagi. Dengan berat hati Sayekti meninggalkan anak yang sangat dicintainya di rumah sakit. Dia berjanji akan menebusnya jika sudah mengumpulkan uang. Terpaksa Sayekti kembali ke pasar menjadi buruh angkut sayur demi mengumpulkan uang untuk menebus anaknya walaupun kondisinya belum pulih.

Kisah di atas seolah mewakili gambaran rakyat kecil yang mengalami kesulitan dalam mengakses fasilitas kesehatan. Masih segar diingatan kita kisah seorang pemulung yang membawa mayat anaknya naik kereta. Ataupun seorang bayi yang ditolak tujuh rumah sakit gara-gara tidak mempunyai uang jaminan perawatan. Dan juga kisah seorang ibu yang melahirkan anaknya di trotoar karena ditolak oleh rumah bersalin. Biaya berobat yang mahal, harga-harga obat yang semakin membumbung tinggi, sulitnya birokrasi untuk mendapatkan kartu JPS (Jaring Pengaman Sosial) membuat beberapa rakyat miskin akhirnya meninggal karena sakit tanpa perawatan medis.Ada sebuah scene yang merupakan sindiran tajam, pada saat Hanafi akan bermesraan dengan istrinya dengan lugu Sayekti menepis “Jangan Kang, nanti mahal”.

1 comment:

nia rahma said...

Sebenarnya aku ngliat film ini udah cukup lama, tgl 23 Agustus 2005. Aku baru inget klo belum sempet nulis tentang crita ini pas kemarin malem filmnya ditayangkan lagi.
Ya gitu deh kadang klo lagi males nulis. dan tambah lagi Agustus kan aplikasi baru live.