Thursday, September 08, 2005

Sudahkah kita bersyahadat?

Alkisah...
Sebuah pengajian yang amat khusyuk di sebuah masjid kaum terpelajar, malam itu, mendadak terganggu oleh suara dari seorang tukang bakso yang membunyikan piring dengan sendoknya. Pak Ustad sedang menerangkan makna khauf, tapi bunyi ting-ting-ting-ting yang berulang-ulang itu sungguh mengganggu konsentrasi anak-anak muda calon ulil albab yang pikirannya sedang bekerja keras.

Apakah ia berpikir bahwa kita berkumpul di masjid ini untuk berpesta bakso!" gerutu seseorang. Bukan sekali dua kali ini dia mengacau!" tambah lain-nya, dan disambung - "Ya, ya, betul!

"Jangan marah, ikhwan," seseorang berusaha meredakan kegelisahan, “ia sekadar mencari makan..."

“Jangan-jangan sengaja ia berbuat begitu! Jangan jangan ia min-an-nashara!" sebuah suara keras.

Tapi sebelum takmir masjid bertindak sesuatu, terdengar suara Pak Ustad juga mengeras, "Khauf, rasa takut, ada beribu-ribu maknanya. Manusia belum akan mencapai khauf ilallah selama ia masih takut kepada hal-hal kecil dalam hidupnya. Allah itu Mahabesar, maka barangsiapa takut hanya kepada-Nya, yang lain-lain menjadi kecil adanya."

“Tak usah menghitung dulu ketakutan terhadap kekuasaan sebuah rezim atau peluru militerisme politik. Cobalah berhitung dulu dengan tukang bakso. Beranikah Anda semua, kaum terpelajar yang tinggi derajatnya di mata masyarakat, beranikah Anda menjadi tukang bakso? Anda tidak takut menjadi sarjana, memperoleh pekerjaan dengan gaji besar, memasuki rumah tangga dengan rumah dan mobil yang bergengsi: tapi tidak takutkah Anda untuk menjadi tukang bakso? Yakni kalau pada suatu saat kelak pada Anda tak ada jalan lain dalam hidup ini kecuali menjadi tukang bakso?”

“Cobalah wawancarai hati Anda sekarang ini, takutkah atau tidak? Ingatlah bahwa tak seorang tukang bakso pun pernah takut menjadi tukang bakso. Apakah Anda merasa lebih pemberani dibanding tukang bakso? Karena pasti para tukang bakso memiliki keberanian juga untuk menjadi sarjana dan orang besar seperti Anda semua."

Suasana menjadi senyap. Suara ting-ting-ting-ting dari jalan di sisi halaman masjid menusuk-nusuk hati para peserta pengajian.

“Kita memerlukan baca istighfar lebih dari seribu kali dalam sehari," Pak Ustadz melanjutkan, "karena kita masih tergolong orang-orang yang ditawan oleh rasa takut terhadap apa yang kita anggap derajad rendah, takut tak memperoleh pekerjaan di sebuah kantor, takut miskin, takut tak punya jabatan, takut tak bisa menghibur istri dan mertua, dan kelak takut dipecat, takut tak naik...”

Ada perbedaan nyata antara mengucap syahadat dengan Bersyahadat. Sekedar mengucapkan syahadat , Anak kecil yang 4 tahun pasti bisa, sedangkan Bersyahadat adalah totalitas kesaksian, kepatuhan dan kepasrahan hanya kepada Allah ... bahkan hidup dan mati kita totally kita tundukkan dalam kepatuhan tanpa reserve hanya kepada Allah.
Apa jawabmu kalau ditanyakan kepadamu apakah engkau sudah bersyahadat ?
Allah masih sering menjadi bukan nomor satu dalam skala prioritas kita,
kita lebih takut kepada atasan daripada kepada Allah n....
kita juga bisa melihat betapa masjid ditempatkan di basement paling bawah di gedung-gedung kita...hal tersebut nyata menunjukkan bahwa dalam kesadaran kolektif kita Allah ada ditempat paling bawah.
coba kita tanyakan kepada diri kita sendiri.... dan jika bersyahadat aja belum bagaimana aku menyebut diriku telah Islam. ampuni aku ya Rabb.... karena belum bersyahadat .

“masyaallah, sungguh kita masih termasuk golongan orang-orang yang belum sanggup menomorsatukan Allah!"
Wallaahua'lam...

sumber: pengajian padhang mbulan nya Cak Nun (kiriman dari seorang teman)

No comments: