"Diajeng dah nyampe mana?" (diajeng = panggilan beberapa teman akrab untukku)
Begitu bunyi sms dari seorang teman, yang setia menemani perjalananku kali ini, dari sebuah kota di Jawa Barat sana.
Mulai dari sore sebelum brangkat ke Gambir dia sudah kontak aku. Memanduku lewat sms peta perjalanan dari stasiun Cirebon ke terminal.
Ehm... mudik kali ini memang aku memilih menggunakan jalur yang berbeda dengan mudikku yang biasanya. Kalo biasanya aku langsung pake kereta arah Semarang yang berhenti di stasiun Tegal. Alasan pemilihan jalur ini karena keabisan tiket kereta yang ke Tegal. Salah prediksi lagi, aku kira libur Idul Adha nggak banyak orang yang mudik ternyata 2 minggu sebelum hari H tiket sudah ludes. Sebenarnya bukan kali pertama aku memilih untuk transit di Cirebon, karena pas libur Idul Fitri aku pun transit di kota itu. Kalo Idul Fitri aku bisa transit di rumah Nuke (teman kantorku) dan baru melanjutkan perjalanan ke Tegal. Bedanya kali ini aku ke Cirebon sendiri dan ga mungkin nginep di Cirebon karena besoknya sudah Idul Adha.
"Diajeng, baiknya naik bis Coyo kalo masih ada"
Sebuah sms masuk lagi saat aku diangkot D5 menuju Terminal Cirebon.
Jam di tanganku menunjukkan pukul 21.00 saat aku memasuki Terminal Cirebon. Ups, kok nggak banyak bis ya. Lebih heran lagi counter tiket Coyo tutup. Dan parahnya tidak ada satu pun bis arah Semarang ada di Terminal. "Waduh... bisa sampe rumah nggak ya malam ini" kataku dalam hati.
"Mba, udah sampe rumah blm?"
Kali ini sms dari adeku, dia masih di Jakarta menunggu bis yang mengantarkannya pulang ke rumah. Saat itu sudah jam 21.30, dan aku masih di Terminal Cirebon.
Untuk mengusir dingin (maklum gerimis sudah mulai mengundang saat aku tiba di kota ini) aku mampir ke sebuah rumah makan, memesan segelas teh manis panas. Aku menunggu bis sambil menghabiskan minuman yang aku pesan tadi. Baru jam 22.00 bis Bandung-Semarang masuk terminal. Bis mulai beranjak setelah hampir semua bangkunya terisi penumpang.
Dua jam perjalanan,yup jam 00.00 akhirnya sampai juga di terminal Tegal.
"Udah mba, ikut bisnya sampe pertigaan Larangan aja. Nanti dijemput disitu" kata Bapak ketika aku kabarkan posisiku di Terminal.
Lima belas, dua puluh menit berlalu bis tetap tidak beranjak dari Terminal. Di tengah kondisiku yang sudah mulai ngantuk aku telepon Uzy untuk jemput di Terminal. Dan akhirnya aku masuk rumah jam 01.00.
Besok sorenya hpku berdering "Diajeng sampe rumah jam berapa? kok nggak ngasih kabar?" Aduh maaf teman, bukan maksudku membuatmu kawatir.
Malamnya adeku mengungkapkan kekawatirannya. "Kalo terjadi apa-apa gimana? Jam 12 malem belum sampe rumah. Mba tenang-tenang aja, nggak tau ya kalo aku kawatir. Mba kan mbaku satu-satunya.."
Terharu dalam hati, ternyata masih banyak orang yang care. Kadang kita merasa tidak akan terjadi apa-apa, kita tidak kawatir ketika dalam posisi tertentu. Tapi ternyata posisi kita saat itu membuat orang kawatir dan memikirkan keadaan kita.
No comments:
Post a Comment